Sejarah Kabupaten Cirebon
Mengawali cerita sejarah ini sebagai
Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan
besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah
Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa
Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGIRaja
Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona
Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja
rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon
sumber: http://www.cirebonkab.go.id/sekilas-kab-cirebon/sejarah-kabupaten-cirebon
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang
dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang
yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir
tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun
1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah
dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan
Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu
Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah
bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia
adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya.
Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya
Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap
bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur
Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk
membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati
(Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal
Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang
semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku
bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat
dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447
Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang
kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati,
Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah
Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim,
kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari
hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran
Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan,
yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton
Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai
Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka
Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak +
14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta
peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga
membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu
Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik
Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi
Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah
berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa,
mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan
untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel.
Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam
penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif
Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri
Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di
daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang
disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka
dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk
menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga
dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut
puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat
pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan
sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih
kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas
Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak
saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I
dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh
Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun
1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon
membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI
untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi
Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah
melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran
untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah
penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan
Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
sumber: http://www.cirebonkab.go.id/sekilas-kab-cirebon/sejarah-kabupaten-cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar