Rotan Cirebon
Rotan adalah Kehidupan di Tegalwangi
MEMASUKI kawasan Desa Tegalwangi,
Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, segera nyata terlihat
bahwa rotan telah menjadi pusat kehidupan masyarakat di daerah tersebut.
Mulai dari pinggir jalan raya pantai utara Cirebon-Palimanan hingga di
gang-gang kecil dan kampung-kampung di belakangnya, terlihat kegiatan
masyarakat yang berhubungan dengan rotan.
Mulai dari hilir mudiknya mobil-mobil bak
terbuka membawa ratusan batang rotan yang masih mentah, orang-orang
yang sedang menganyam rotan sampai toko-toko dan ruang pamer yang
memajang berbagai jenis produk kerajinan rotan. Bahan-bahan kerajinan
mulai dari keranjang sampah berukuran kecil hingga ranjang berukuran
besar, terlihat di ruang-ruang pamer itu, baik yang diperuntukkan bagi
pasar lokal maupun pasar ekspor ke seluruh dunia.
Rotan sudah menjadi napas kehidupan
masyarakat Tegalwangi secara turun-temurun. Menurut cerita dari mulut ke
mulut, orang yang pertama kali mengawali pembuatan kerajinan rotan di
Tegalwangi adalah penduduk asli desa itu yang bernama Nyi Tegalmantra
atau akrab dipanggil Nyi Mantra, sekitar tahun 1920-an.
Konon, ketika itu Nyi Mantra sering pergi
ke Sumatera. Di Sumatera ia menemukan pohon rotan yang unik karena
sifat lenturnya. Ia kemudian pulang membawa rotan itu dan mencoba
membuat kerajinan tangan dari bahan baru tersebut. Awalnya produk yang
dihasilkan hanya berupa keranjang, yang dicoba dijajakan di pinggir
jalan raya Tegalwangi, dan ternyata banyak orang yang menyukainya.
Ilmu Nyi Mantra itulah yang kemudian
diwarisi dan dikembangkan oleh masyarakat Tegalwangi lainnya hingga saat
ini. Setiap hari, masyarakat Tegalwangi tidak peduli laki-laki maupun
perempuan, tua maupun muda, bergulat menekuni kerajinan rotan. Mereka
biasanya memproduksi barang-barang kerajinan rotan di rumahnya
masing-masing.
Seperti dituturkan Udin (25), anak muda
asli Tegalwangi yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai borongan
penganyam rotan. Menurut dia, hampir seluruh masyarakat di Tegalwangi
menguasai ilmu menganyam rotan menjadi berbagai macam barang kerajinan.
“Sejak kecil saya sudah melihat orang
membuat berbagai macam kerajinan rotan, akhirnya lama-lama bisa membuat
sendiri. Mulai kelas II SMP, sepulang sekolah saya sudah bekerja
menganyam rotan sampai sekarang,” ujar Udin yang hanya sekolah sampai
SMP tersebut.
Beril (21) dan Jeffry (18), dua pemuda
asli Tegalwangi lainnya, adalah sebagian dari generasi penerus yang
mengembangkan keterampilan pertukangan kayu tersebut. Mereka membuat
ratusan kerangka kursi sofa dari kayu-kayu pinus dan mahoni dengan
sistem upah harian. Setiap hari mereka menerima upah rata-rata Rp
20.000.
Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel dan
Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komisariat Daerah Cirebon Sumarca
mengatakan, saat ini tercatat sekitar 70.000 tenaga kerja yang terlibat
dalam jalur produksi kerajinan rotan di Tegalwangi.
“Satu kontainer barang kerajinan rotan
yang diekspor membutuhkan sekitar 30-35 orang untuk menyelesaikannya,
mulai dari proses pemotongan bahan baku sampai finishing. Jika setiap
bulan seluruh pengusaha di Tegalwangi bisa mengekspor 2.000 kontainer,
berarti ada 70.000 tenaga kerja yang terlibat,” katanya.
Menurut Sumarca, industri kerajinan rotan
saat ini tidak hanya tumbuh dan berkembang di wilayah Tegalwangi saja,
tetapi juga berkembang di wilayah lain Kabupaten Cirebon, bahkan sudah
merambah hingga ke Kabupaten Indramayu, Kuningan, dan Majalengka. “Harga
tanah di Tegalwangi sudah terlalu tinggi, mencapai Rp 400.000 per meter
persegi, berkat perkembangan industri rotan. Akibatnya, para pemain
baru di industri ini memilih mengembangkan pabriknya di luar wilayah
Tegalwangi,” paparnya.(DHF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar