Bangunan Kuno di Cirebon
Di Nusantara ini banyak sekali terdapat
bangunan-bangunan kuno semenjak jaman dahulu yang masih terawat hingga
hari ini, salah satu kota di Indonesia yang memiliki sekitar 13 bangunan
kuno yaitu cirebon. Bangunan kuno yang terdapat di Cirebon ini berasal
semenjak jaman terbentuknya cirebon oleh pangeran cakrabuana. Bangunan
tersebut antara lain
1. Keraton Kesepuhan (1452 m)
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah
dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton
ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini
dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton Kasepuhan adalah kerajaan islam
tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan
Kasultanan Cirebon berdiri. Keraton ini memiliki museum yang cukup
lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu
koleksi yaitu keretaSinga Barong yang merupakan kereta kencana Sunan
Gunung Jati. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya
dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan. Bagian dalam
keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya
terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada
tahun 1452 oleh Pangeran Cakrabuana. Ia bersemayam di Dalem Agung
Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama ‘Keraton Pakungwati.
Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti
Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada
tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat
tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati
sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama
Keraton Kasepuhan.
2. Masjid Agung Cipta Rasa (1489 m)
Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dikenal
juga sebagai Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon) adalah
sebuah masjid yang terletak di dalam kompleks Keraton
Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.
Konon, masjid ini adalah masjid tertua
di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau semasa dengan Wali
Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil
dari kata “sang” yang bermakna keagungan, “cipta” yang berarti dibangun,
dan “rasa” yang berarti digunakan.
Menurut tradisi, pembangunan masjid ini
dikabarkan melibatkan sekitar lima ratus orang yang didatangkan
dariMajapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan
Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijagasebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan
Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi
tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang
bangunan masjid tersebut.
Konon, dahulunya masjid ini
memiliki memolo atau kemuncak atap. Namun, saat azan pitu (tujuh) salat
Subuh digelar untuk mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tersebut pindah
ke Masjid Agung Banten yang sampai sekarang masih memiliki dua kubah.
Karena cerita tersebut, sampai sekarang setiap salat Jumat di Masjid
Agung Sang Cipta Rasa digelar Azan Pitu. Yakni, azan yang dilakukan
secara bersamaan oleh tujuh orang muazin berseragam serba putih.
3 Masjid Bata Merah Panjunan (1480 m)
Masjid ini merupakan sebuah masjid
berumur sangat tua yang didirikan pada tahun 1480 oleh Syarif
Abdurrahman atau Pangeran Panjunan. Ia adalah seorang keturunan Arab
yang memimpin sekelompok imigran dari Baghdad, dan kemudian menjadi
murid Sunan Gunung Jati. Masjid Merah Panjunan terletak di sebuah sudut
jalan di Kampung Panjunan, kampung dimana terdapat banyak
pengrajin tembikar atau jun.
Masjid Panjunan semula bernama mushala
Al-Athya namun karena pagarnya yang terbuat dari bata merah menjadikan
masjid ini lebih terkenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan. Awalnya
masjid ini merupakan tajug atau Mushola sederhana, karena lingkungan
tersebut adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa,
Pangeran Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut menjadi masjid
dengan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu –
Budha.
4. Keraton Kanoman (1678 m)
Keraton Kanoman adalah Kesultanan
Cirebon, setelah berdiri Keraton Kanoman pada tahun 1678 M Kesultanan
Cirebon terdiri dari Keraton Kasepuhan dan keraton Kanoman yang
merupakan pemimpin dan wakilnya. Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak
lepas dari Cirebon. Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad
Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I pada
sekitar tahun 1678 M.
Keraton Kanoman masih taat memegang
adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg
Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan
Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan
bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam
yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif
Hidayatullah.
5. Vihara/Klenteng Dewi Welas Asih (1595 m)
Kelenteng Dewi Welas Asih Cirebon
(Kelenteng Tiao Kak Sie) letaknya berada di Jl. Kantor No. 2, Kampung
Kamiran, Cirebon, di sebelah kiri Gedung Bank Mandiri, atau di seberang
kanan Gedung BAT Cirebon. Kelenteng Dewi Welas Asih ini merupakan salah
satu kelenteng tertua di Cirebon, selain Kelenteng Talang dan Vihara
Pemancar Keselamatan.
Penanda Benda Cagar Budaya Kelenteng
Dewi Welas Asih Cirebon dengan tahun berdiri 1595. Di sebelah kanan
adalah gerbang masuk ke dalam Kelenteng Dewi Welas Asih yang berbentuk
candi bentar, terbuat dari batu andesit abu-abu. Candi bentar lazimnya
ditemui pada bangunan Candi atau Pura Hindu.
Bangun simetris Kelenteng Dewi Welas
Asih dengan ornamen naga dalam posisi ekor di atas seperti tengah menari
di wuwungan. Sepasang singa berjaga di samping menara pendek tempat
pembakaran kertas uang untuk leluhur, dan ornamen lingkaran-lingkaran
bulat di dinding kiri kanan. Halaman depannya cukup luas untuk
penyelenggaraan acara ritual Cap Go Meh dan Imlek di Kelenteng Dewi
Welas Asih yang dibangun di atas tanah seluas 1.857 m2 dengan luas
bangunan 1.600 m2 ini.
6. Gua Sunyaragi (1703 m)
Sejarah berdirinya gua Sunyaragi
memiliki dua buah versi, yang pertama adalah berita lisan tentang
sejarah berdirinya Gua Sunyaragi yang disampaikan secara turun-temurun
oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan keraton. Versi tersebut lebih
dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda. Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari yaitu berdasarkan buku Purwaka Caruban Nagari tulisan
tangan Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon tahun 1720.
Sejarah berdirinya gua Sunyaragi versi Caruban Nagari adalah yang
digunakan sebagai acuan para pemandu wisata gua Sunyaragi. Menurut versi
ini, Gua Sunyaragi didirikan tahun 1703 Masehi oleh Pangeran
Kararangen, cicit Sunan Gunung Jati.
Kompleks Gua Sunyaragi ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu pesanggrahan dan bangunan gua. Bagian
pesanggrahan dilengkapi dengan serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar
rias, ruang ibadah dan dikelilingi oleh taman lengkap dengan kolam.
Bangunan gua-gua berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi terowongan
penghubung bawah tanah dan saluran air. Bagian luar kompleks aku
bermotif batu karang dan awan. Pintu gerbang luar berbentuk candibentar
dan pintu dalamnya berbentuk paduraksa.
Induk seluruh gua bernama Gua Peteng
(Gua Gelap) yang digunakan untuk bersemadi. Selain itu ada Gua Pande
Kemasan yang khusus digunakan untuk bengkel kerja pembuatan senjata
sekaligus tempat penyimpanannya. Perbekalan dan makanan prajurit
disimpan di Gua Pawon. Gua Pengawal yang berada di bagian bawah untuk
tempat berjaga para pengawal. Saat Sultan menerima bawahan untuk
bermufakat, digunakan Bangsal Jinem, akan tetapi kala Sultan
beristirahat di Mande Beling. Sedang Gua Padang Ati (Hati Terang),
khusus tempat bertapa para Sultan.
7. Keraton Kacirebonan (1800 m)
Kraton Kacerbonan merupakan
pemekaran dari Keraton Kanoman setelah Sultan Anom IV yakni PR Muhammad
Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan tahta
diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan
membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta sudah diduduki
oleh PR. Abu sholeh Imamuddin. Atas dasar kesepakatan keluarga, akhirnya
PR Anom Madenda membangun Istana Kacerbonan, kemudian muncullah Sultan
Carbon I sebagai Sultan Kacirebonan pertama.
Beranda depan Keraton Kacirebonan dengan
halaman depan yang cukup luas, yang diteduhi oleh pohon rindang.
Meskipun Keraton Kacirebonan ini sederhana saja dan menyerupai rumah
biasa, namun bangunan ini menyimpan kisah perjuangan Pangeran Raja
Kanoman melawan penjajah kolonial Belanda.
Di Keraton Kacirebon terdapat tradisi
tahunan seperti Suraan, Syafaran, Muludan, Rajaban, Rowahan, Tarawehan,
Likuran, Tadarusan di bulan Ramadhan, Grebeg Syawal (Idul Fitri) dan
Raya Agungan (Idul Adha). Puncaknya adalah acara “Panjang Jimat” yang
dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul awwal bertepatan dengan peringatan
Maulid Nabi.
8. Gedung Bank Indonesia (1866 m)
Gedung Bank Indonesia di Jl. Yos Sudarso
merupakan salah satu gedung tua peninggalan jaman kolonial yang masih
berdiri dengan megah, cantik dan anggun di Kota Cirebon. Lokasi Gedung
Bank Indonesia Cirebon ini sangat dekat dengan lokasi Gedung Bank
Mandiri, dan juga dekat dengan lokasi beberapa gedung tua lainnya yang
telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Kantor Dinas Purbakala
setempat.
Gedung Bank Indonesia Cirebon yang masih
berdiri kokoh, cantik dan anggun, serta terawat dengan baik. Gedung
Bank Indonesia Cirebon in sebelumnya merupakan Kantor Cabang ke-lima
dari De Javasche Bank (DJB), yang dibuka pada 31 Juli 1866 dengan nama
Agentschap van De Javasche Bank te Cheribon, namun baru beroperasi pada 6
Agustus 1866.
9. Kantor Pos (1906 m)
Salah satu bangunan tua di daerah
Cirebon yang dilindungi oleh Pemerintah Cirebon dan ditetapkan sebagai
Cagar Budaya Cirebon. Gedung ini menjadi saksi bagaimana pada waktu itu
Daendels yang berhak berkuasa penuh atas pos sampai-sampai ia berencana
membuat jalan yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan. Jalan
sepanjang 1.000 km ini sangat membantu dalam mempercepat pengantaran
surat-surat dan paket-paket antarkota di Pulau Jawa. Jalan yang dibuat
dengan metode rodi (kerja paksa) ini dikenal dengan nama Groote Postweg
(Jalan Raya Pos). Dengan adanya jalan ini, perjalanan antara Provinsi
Jawa Barat sampai Provinsi Jawa Timur, yang awalnya bisa memakan waktu
puluhan hari, bisa ditempuh dalam jangka waktu kurang dari seminggu.
10. Gedung British American Tobacco (1917 m)
Gedung BAT Cirebon adalah gedung
peninggalan Belanda dan sekarang termasuk Benda Cagar Budaya satu dari
banyak Benda cagar budaya di Cirebon. Gedung BAT Cirebon yang umurnya
sudah tua ini terletak di Jl. Pasuketan, Kampung Kebumen, persis di
seberang kanan Gedung Bank Mandiri dan dekat dengan Cirebon Mall(Dulu
HERO), dengan bentuk yang memanjang tinggi, di tepi jalan yang dinaungi
dengan pohon palm yang rindang.
Gedung BAT Cirebon yang masih berdiri
kokoh dan anggun, dan terlihat masih terawat rapi. Gedung BAT Cirebon
ini semula merupakan gedung yang dimiliki oleh perusahaan rokok SS
Michael. Gedung BAT Cirebon yang mulai digunakan pada tahun 1924 ini
dirancang oleh arsitek F.D. Cuypers & Hulswit bergaya Art Deco,
sebuah gaya bangunan yang bermula pada awal 1920-an dan terus digunakan
sampai setelah berakhirnya Perang Dunia II. Struktur Art Deco adalah
berdasar pada bentuk geometris matematis, yang ketika itu gaya bangunan
ini terlihat elegan, glamor, fungsional dan modern.
Bagian tengah Gedung BAT Cirebon dengan
tulisan tahun pembuatan gedung menempel pada dinding depan. Sebagian
Gedung BAT Cirebon ini berlantai dua.Bagian ujung sebelah kiri Gedung
BAT Cirebon yang tanah dan bangunannya kabarnya seluas 1,1 ha dan 1,6 ha
lebih. Tengara dari dinas terkait yang terlihat sudah mulai menua
tentang status Gedung BAT Cirebon sebagai Benda Cagar Budaya, dan tahun
1917 yang mungkin merupakan tahun dimulainya pembuatan gedung ini.
Sejak Mei 2010, Gedung BAT Cirebon yang
dimiliki oleh PT Bentoel International Investama (BINI) ini sudah tidak
lagi digunakan untuk memproduksi rokok, dan menurut kabar akan dijual
oleh pemiliknya dengan harga yang bisa bernilai ratusan miliar rupiah.
Semoga pemilik barunya tetap memelihara keutuhan gedung dan memberi
peluang bagi pejalan wisata untuk menikmati interior bangunannya.
11. Stasiun Cirebon (1920 m)
Stasiun Cirebon (CN)
merupakan sebuah stasiun kereta api yang terletak di Jl. Siliwangi,
kelurahan Kebonbaru, Kejaksan, Cirebon. Karena terletak di kecamatan
Kejaksan, Stasiun Cirebon kadang-kadang disebut juga Stasiun Kejaksan. Stasiun yang terletak di Daerah Operasi III Cirebon ini terletak pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut.
Stasiun Cirebon termasuk pada lintasan
jalur Utara, tapi pada stasiun ini terdapat percabangan jalur ke stasiun
Purwokerto yang akan berhubungan dengan jalur lintas selatan di stasiun
Kroya. Dengan demikian sebagian besar kereta api eksekutif dan campuran
baik jalur Utara maupun Selatan berhenti di stasiun ini, kecuali kereta
api kelas ekonomi dan bisnis yang berhenti di stasiun Cirebon
Prujakan. Pada Tahun 2011 stasiun Cirebon direnovasi dengan meninggikan
peron stasiun dan menambah jalur dan fasilitas yang ada.
Gedung Stasiun Cirebon yang sekarang
dibangun pada tahun 1920 berdasarkan karya arsitek Pieter Adriaan
Jacobus Moojen (1879–1955) dalam gaya arsitektur campuran art nouveau dengan art deco.
Dua “menara”-nya yang sekarang ada tulisan CIREBON dulu ada tulisan
KAARTJES (karcis) di sebelah kiri dan BAGAGE (bagasi) di sebelah kanan.
Pada tahun 1984, gedung stasiun ini dicat putih. Pada tahun 2011 stasiun
Cirebon dan stasiun Prujakan direnovasi.
12. Gedung Balai Kota Cirebon (1927 m)
Bangunan peninggalan masa kolonial
lainnya misalnya Balai Kota Cirebon. Gedung ini terletak di Jl.
Siliwangi No. 84, Kampung Tanda Barat, Kelurahan Kejaksan, Kecamatan
Kejaksan tepatnya pada koordinat 06º 42′ 394″ Lintang Selatan dan 108º
33′ 492″ Bujur Timur. Di sekitar gedung merupakan perkantoran dan
pemukiman. Di sebelah utara terdapat Rumah Dinas Kepala PT. KAI DAOPS
III Cirebon, sebelah timur merupakan ruas Jl. Siliwangi, sebelah selatan
pemukiman penduduk, dan sebelah barat adalah ruas Jl. Setasiun Kereta
Api.
Pembangunan gedung ini diprakarsai
oleh Jeskoot, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Stadsgemeente Cheribon,
sedangkan perancangnya dikerjakan oleh dua orang arsitek bernama H.P
Hamdl dan C.F.H. Koll. Bangunannya berbentuk anjungan kapal yang
puncaknya dihiasi dengan empat ekor udang, binatang air yang lazim
digunakan untuk julukan kota ini. Langgam arsitektur bangunan ini
bergaya art deco yang sedang popular pada sekitar tahun 1920-an.
Gedung
yang berdiri pada lahan seluas ± 15.770 m2 ini bertembok warna putih
dan bertekstur halus, dibangun menghadap ke timur, dari bahan utama bata
merah, batu, kapur, kayu jati, tegel dan marmer. Pada waktu itu
balaikota terdiri atas gedung inti dan gedung penunjang pada sebelah
utara dan selatan. Gedung inti dibangun dua lantai, apabila berdiri pada
bagian lantai 2 dapat dilihat keindahan pemandangan laut lepas dan
Pelabuhan Muara Jati. Sementara pada bagian bawah tanah terdapat
terowongan yang menurut tradisi, dulu merupakan tempat perlindungan dan
jalan pintas menuju laut atau tempat melarikan diri apabila terjadi
penyerangan.
Pembangunan Balaikota Cirebon
merupakan pengejawantahan peningkatan kepentingan Pemerintah Hindia
Belanda terhadap kota pelabuhan ini, yang pada awal abad ke-20 telah
menempati peringkat ke-4 terbesar di Jawa. Pada 1 April 1906 Cirebon
diresmikan menjadi Gemeente (Kotapraja), dan pada tahun 1926 statusnya
ditingkatkan lagi menjadi stadsgemeente. Untuk menunjang kegiatan
lembaga pemerintah ini, maka dibangunlah Staadhuis (Balaikota), Raadhuis
(Dewan Perwakilan Kota) serta infrastruktur kota lainnya.
Gedung ini semula berfungsi sebagai
Raadhuis (Dewan Perwakilan Kota) yang merupakan pusat administrasi
Kotapraja Cirebon. Ketika itu, gedung ini juga kerapkali digunakan
sebagai tempat petemuan dan pesta pernikahan kalangan bangsa Eropa. Pada
masa Pemerintahan Militer Jepang hingga masa kemerdekaan gedung ini
menjadi pusat Pemerintahan Kota Cirebon.
13. Makam Sunan Gunung Jati (…..)
Kompleks makam Astana Gunung Jati berada
di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara pada pinggir jalan raya Cirebon
– Indramayu dari kota Cirebon berjarak sekitar 5 km, tepatnya pada
koordinat 06º 40′ 256″ Lintang Selatan dan 108º 33′ 563″ Bujur Timur.
Luas wilayah kompleks makam adalah ± 36.350 Ha yang terdiri dari 23,010
ha tanah desa dan 13,340 ha tanah keraton. Batas wilayah kompleks makam
di sebelah utara adalah Desa Kalisapu, sebelah timur persawahan, sebelah
selatan Desa Jatimerta, dan sebelah barat jalan raya. Lingkungan pada
kompleks makam adalah hutan jati yang disebut Alas Konda. Geomorfologi
daerah berupa pedataran bergelombang.
sumber: www.cirebonan.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar